Ketika pemimpin Inggris yang dijuluki Richard the Lionheart (Richard si Hati Singa), meninggal pada 1199 hatinya dibalsem dan dikubur terpisah dari tubuhnya.
Kondisi hati itu tidak memungkinkan untuk mengungkap penyebab kematiannya, tapi tim dapat menepis teori bahwa ia dibunuh oleh anak panah beracun seperti dugaan para ahli sejarah.
"Analisis toksikologi kami menunjukkan tidak ada jejak arsenik atau logam apa pun, jadi kami belum menemukan bukti kontaminasi yang mengakhiri hidup Richard si Hati Singa," kata Dr Philippe Charlier, seorang ilmuan forensik dari Rumah Sakit Universitas Raymond Poincare di Prancis yang melakukan riset ini.
Para peneliti juga dapat mengetahui metode pembalseman yang digunakan untuk mengawetkan organ itu.
Studi ini diterbitkan di jurnal Scientific Reports.
Hati Richard I dikubur di Rouen
Raja dari zaman pertengahan ini dikenal sebagai Richard si Hati Singa karena reputasinya sebagai pemimpin militer yang gagah berani.
Ia adalah tokoh inti di Perang Salib Ketiga, yaitu pertempuran melawan pemimpin Muslim Saladin.
Meski ia menguasai Inggris, ia menghabiskan lebih banyak waktunya di Prancis, dan tewas di negara itu setelah terkena panah saat terjadi bentrokan memperebutkan sebuah kastil.
Setelah kematiannya, jenazahnya dibedah, praktik umum untuk aristokrat di Abad Pertengahan.
Isi perutnya dikubur di Chalus, dekat dengan Prancis tengah. Jenazahnya dimakamkan di utara Prancis di Fontevraud Abbey, tapi hatinya dibalsem dan dikubur di katedral Notre Dame di Rouen.
Sisa-sisa hatinya, kini hanyalah bubuk berwarna coklat keabuan, dikunci di dalam kotak kecil dan ditemukan di Abad ke19 saat penggalian.
tapi hingga kini, hati itu belum pernah dipelajari dengan seksama.
Untuk mengetahui lebih banyak, satu tim spesialis forensik dan ahli sejarah melakukan analisis biologi.
Dr Philippe Charlier mengatakan, "Kami melakukan analisis yang sama dengan teknik yang akan kami lakukan pada jenazah mana saja untuk keperluan forensik.
"Kami melakukan pengujian mikroskopik, analisis toksikologi dan juga analisis pollen."
(BBC)